Putusan Pengadilan Pajak ini membatalkan koreksi PPh Pasal 26 Wajib Pajak atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang direklasifikasi sebagai dividen terselubung (secondary adjustment), menegaskan bahwa validitas dokumentasi transfer pricing untuk biaya jasa intragrup adalah krusial dalam mitigasi risiko sengketa turunan ini. Wajib Pajak, PT NSBLI, berhasil membuktikan bahwa transaksi jasa dengan pihak afiliasi telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) melalui kelengkapan dokumen.
Sengketa pajak yang melibatkan koreksi PPh Pasal 26 kerap muncul sebagai konsekuensi logis atau secondary adjustment dari koreksi Transfer Pricing pada PPh Badan. Dalam kasus NSBLI, sengketa ini bermula dari penolakan biaya Jasa Intragrup oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP) yang kemudian berimplikasi pada reklasifikasi nilai biaya yang ditolak tersebut sebagai dividen terselubung (imputed dividend) kepada entitas afiliasi luar negeri, sehingga terutang PPh Pasal 26. Isu utama terletak pada pembuktian PKKU (Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha) atas jasa yang diterima dari afiliasi luar negeri.
DJP berargumen bahwa koreksi PPh Pasal 26 sudah tepat karena didasarkan pada penolakan biaya jasa intragrup dalam sengketa PPh Badan. Penolakan ini disebabkan PT NSBLI dinilai tidak mampu membuktikan dua hal utama: benefit test (manfaat nyata atas jasa) dan existence of service (keberadaan dan penentuan harga wajar jasa). Koreksi biaya ini secara otomatis diasumsikan sebagai pengalihan laba (excess profit) yang diubah menjadi dividen terselubung, sehingga wajib dikenai PPh Pasal 26. Di sisi lain, PT NSBLI membantah koreksi tersebut dengan berfokus pada kelengkapan dokumentasi Transfer Pricing (Bukti P-1 s.d. P-51) yang diklaim telah membuktikan kewajaran transaksi dan kepatuhan terhadap PKKU. Bantahan PT NSBLI berdalih bahwa jika transaksi jasa terbukti wajar, maka tidak ada dasar untuk mereklasifikasi transaksi tersebut sebagai dividen terselubung, sehingga koreksi PPh Pasal 26 harus dibatalkan.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengidentifikasi sengketa PPh Pasal 26 ini sebagai sengketa turunan yang keputusannya mutlak bergantung pada hasil sengketa pokok PPh Badan. Setelah mencermati dan menilai seluruh bukti yang disampaikan PT NSBLI, termasuk dokumentasi yang membuktikan benefit test dan penentuan harga, Majelis berkesimpulan bahwa PT NSBLI berhasil membuktikan dalilnya terkait kewajaran Biaya Jasa Intragrup. Konsekuensinya, karena koreksi pokok PPh Badan atas biaya tersebut dibatalkan, maka secara logis dan hukum, koreksi secondary adjustment PPh Pasal 26 yang timbul dari reklasifikasi biaya yang sama juga harus dibatalkan. Majelis Hakim mengabulkan seluruh permohonan banding PT NSBLI.
Putusan ini memiliki implikasi signifikan, yaitu memperkuat preseden bahwa dalam sengketa secondary adjustment, fokus utama Majelis Hakim akan selalu kembali pada validitas koreksi pokok (primary adjustment). Bagi Wajib Pajak multinasional, kasus NSBLI ini menjadi pelajaran penting bahwa kekuatan pembuktian PKKU adalah kunci utama. Kekuatan pembuktian tidak hanya terletak pada ketersediaan kontrak, melainkan pada bukti-bukti riil operasional (substance over form) seperti timesheet, laporan kerja, dan dokumentasi yang menunjukkan cost base pemberi jasa. Putusan ini memberikan kejelasan hukum bagi Wajib Pajak untuk mengeliminasi risiko secondary adjustment dengan memperkuat kepatuhan Transfer Pricing di awal.
Kasus NSBLI menyoroti kompleksitas sengketa PPh Pasal 26 sebagai akibat dari koreksi Transfer Pricing jasa intragrup. Kemenangan PT NSBLI membuktikan bahwa dengan dokumentasi yang memadai dan argumentasi hukum yang kuat mengenai pemenuhan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha, koreksi pajak turunan seperti secondary adjustment dapat sepenuhnya digugurkan.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini